![]() | |
sumber: Tribun Batam |
Sebagai emak- emak baru, hal yang paling
membahagiakan sekaligus mengkritingkan rambut itu adalah mengurusin balita-
balita yang aktifnya luar biasa. Perintah dan larangan adalah stok kata- kata
yang paling sering terpakai. Hal lain yang tidak bisa terhindarkan adalah suara
emak- emak cenderung jadi lebih tinggi dari pada suara anak gadis atau ibu- ibu
muda calon emak- emak (beda ibu- ibu muda dengan emak- emak itu terletak di
keahlian merepetnya he he. Emak- emak merepetnya sudah ahli, kalo ibu- ibu muda
masih kalem. Dan diperkirakan ibu- ibu itu akan menjadi emak- emak pada saat
anak mulai berusia 3 tahunan he he he J ). Walaupun
secara teori saya mengetahui bahwa berteriak kepada anak atau menggunakan kata
“jangan” terlalu sering adalah hal yang tidak baik bagi perkembangan anak, tapi
saya sering kewalahan juga. Walhasil, saya sering melanggar teori- teori ideal
yang saya pelajari untuk mendidik anak. Sangat sulit menghindari hal tersebut saat
anak kita adalah anak yang hobby dan obsesinya selalu terhubung dengan sumber
arus listrik di rumah. Sangat sulit juga saat anak- anak ini adalah anak yang
kurang ketertarikannya pada mainan anak- anak yang diberikan kepada mereka.
Kipas angin, tape player, HP dan obeng adalah hal yang sangat diincar anak-
anak saya kalau kita sedang lengah. Bukannya saya tidak melakukan usaha- usaha
pengalihan dengan memberikan mainan- mainan yang mirip dengan benda- benda yang
disuka. Sudah! Tapi hasilnya mainan- mainan itu terlantar karena efek yang
mereka cari saat menyentuh benda- benda listrik asli tidak mereka dapati pada
mainan mereka. Stop kontak adalah yang paling membuat mereka penasaran. Mungkin
karena mereka memperhatikan bahwa setiap kali kabel dari semua benda elektronik
dihubungkan kesana baru semua bisa menyala. Dan mereka ini gerilyawan sekali
untuk hal ini. Benar- benar tak bisa lengah! Akhirnya saya juga menjadi seorang
ibu yang hampir tidak bisa menghindari penggunaan kata- kata “jangan” dengan
nada suara yang tinggi untuk mengimbangi suara keceriaan anak- anak ini saat
mereka hampir berhasil meraih tujuannya (Luar biasa andrenalinnya! Kita
merasakan seram yang luar biasa, eeeh merekanya malah cekikikan jail sekali)
Tapi itu semua tidak begitu mengherankan
kalau mau dibandingkan dengan satu fenomena yang menurut saya agak sedikit
aneh. Untuk membuat anak menjadi patuh dengan aturan- aturan yang ingin
diterapkan berbagai cara sudah saya lakukan. Mulai dari berbicara pelan hingga
bersuara keras dan nyaring, mulai dari gaya bicara cedal sampai mengajak anak
berbicara dengan gaya ala sesama orang dewasa serta dengan gaya seakrab teman
semua sudah dicoba. Dengan gaya flexible sampai otoriter semua sudah saya coba.
Tetapi apapun yang saya sampaikan dan ajarkan jarang sekali ada yang membekas
pada kedua balita kecil saya ini. Kalau dimarahi juga bukannya takut dan tidak
mengulangi lagi perbuatannya tapi yang kecil malah hanya tertawa- tawa dengan
gayanya khas anak kecilnya yang lucu dan imut- imut. Kalau saya mencoba
menasehati dengan lembut, kedua anak saya malah ngeloyor pergi. Yang satu malah
berani bilang dengan gaya anak kecil yang meniru gaya Upin Ipin, “Ish Mama
Bising lah!”. Bayangkan bagaimana desperate-nya
saya sebagai ibu.
Tetiba ayahnya yang bicara, mengajarkan,
memerintah atau melarang (tak perlulah usaha yang berarti, mau serius mau
dengan cara yang nyeleneh) langsung berefek. Kadang- kadang saya cuma bisa
melongo kalau gak merasa malu sekali kok anak- anak malah tidak mau patuh sama
saya. Lain waktu saya mencoba menirukan gaya ayahnya berbicara mulai dari kata-
kata yang persis sama dan intonasi yang juga sama; tetapi hasilnya tetap sama
tidak berefek apa- apa. Dikepala saya jadi bermain- main fikiran- fikiran dan
pertanyaan aneh dan lucu. Apa postur tubuh saya yang gendut dan pendek
berpengaruh pada wibawa saya sebagai seorang ruler dan sebagai seorang ibu? Apakah ada perbedaan frequensi suara
ayah dan ibu yang mempengaruhi pendengaran dan konsentrasi anak? Apa intensitas
berbicara ayah yang sedikit membuat wibawa ayah menjadi lebih dimata anak?
(kalau yang ini saya bisa langsung membantahnya karena suami saya termasuk
orang yang tidak terlalu menjaga wibawa dan cara berbicara dengan anak-
anaknya)
Perbedaan
Frekuensi Suara Laki- Laki dan Perempuan
Umumnya
suara laki- laki berada pada frekuensi 85 Hz sampai 180 HZ. Sedangkan untuk
wanita berkisara antara 165 sampai 255 Hz. Dari sini bisa dilihat bahwa suara
wanita cenderung berada pada frekuensi lebih tinggi dari pada suara laki- laki.
Lalu apa
artinya ini?
Bahwa
manusia tidak menyukai suara dengan frekuensi tinggi adalah hal yang saya
dapatkan saat saya ingin mencari jawaban dari berbagai pertanyaan saya tentang
suara suami saya yang begitu efektif terhadap anak- anak. Suara kita bisa
berubah menjadi lebih besar atau lebih lembut sesuai dengan frekuansi suara
yang kita gunakan. Frekuensi suara yang tidak disukai berada pada frekuensi
2000 sampa 5000 herzt. Contoh suara yang tidak disukai itu antara lain adalah
suara pisau yang digesekkan ke leher botol dan suara tangisan bayi.
Suara yang
kita tangkap ternyata tidak hanya berfungsi sebagai suara biasa sebatas apa
yang bisa dan ingin kita dengar saja. Lebih dari itu begitu banyak sudah bukti-
bukti bahwa suara sangat berefek tidak hanya kepada bukti bahwa organ telinga
dapat berfungsi dengan baik saat mendengarkannya atau sebagai alat komunikasi
saja. Lebih jauh suara bisa berefek pada healing proses seseorang baik secara
fisik dan psikis. Suara juga dapat berpengaruh pada kesehatan tingkah laku
anak. Pada kasus- kasus tertentu seperti pada anak dengan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder) jenis
suara tertentu bisa saja menyebabkan kemunduran pada proses treatmen yang
sedang mereka jalani.
Suara yang masuk ke telinga kita ternyata
diproses oleh otak kita untuk kemudian memberikan respon dalam bentuk
pendengaran bahkan perasaan. Bagian otak yang merespon suara- suara ini secara
emosinal disebut amygdala. Dibagian otak inilah seseorang mengaitkan kesan- kesan
emosi (baik dari input suara maupun input visual seperti ekspresi wajah) yang
didapatnya dengan kemampuan memori pada otak.
Saya tidak
mendapatkan informasi tentang hasil penelitian resmi mengenai pengaruh
perbedaan suara ayah dan ibu terhadap perilaku anak. Jika dilihat bagaimana
otak merespon suara dan bagaimana pengaruhnya terhadap emosi seseorang, maka
secara logika pribadi saya mulai menemukan titik terang mengapa anak lebih
merespon suara ayahnya dibandingkan dengan suara saya. Mungkin frequency suara
suami yang lebih rendah dari suara saya lah yang membuat anak- anak secara
emotional lebih merespon saat ayahnya berbicara.
Respon
emotional seseorang terhadap mempengaruhi daya ingatnya. Jika seseorang
mendapat kesan menyenangkan maka memori tersebut akan tinggal lebih lama
dibandingkan dengan suara yang tidak memiliki kesan terhadap emosi seseorang.
Suara yang tidak menyenangkan bisa umumnya bisa berakhir dengan dua cara
menjadi memori jangka panjang dalam bentuk fobia atau pengabaian atau menghindar
dari mendengarkannya. Pada anak pengabaian itu bisa kita lihat dari sikapnya
yang pura- pura tidak mendengar atau
menimpali pada saat bersamaan dengan saat kita berbicara. Hal ini jelas
berakhir pada keadaan bahwa karena mereka tidak mendengar maka mereka tidak
bisa mengingat isi dari nasehat atau larangan yang kita ucapkan.
Walaupun
saya menyangkal dengan kasus yang ada di rumah kami. Tapi intensitas seseorang
dalam berbicara bisa mempengaruhi perhatian seseorang. Orang yang intensitas
bicaranya lebih sedikit cenderung mengundang banyak perhatian saat mereka
mengeluarkan suaranya. Karena kita cenderung memberi perhatian lebih terhadap
sesuatu yang jarang kita lihat dan kita dengar saat yang jarang kita dengar dan
kita lihat tersebut muncul disekitar kita. Itu juga yang saya lihat pada
beberapa guru SMP saya. Meskipun bergender wanita, tidak tinggi dan imut- imut,
tetap saja wibawanya luar biasa salah satu penyebabnya itu adalah karena
keduanya jarang berbicara dan bercanda berlebihan dengan siswa. Jadi
permasalahan berikutnya dari rasa penasaran saya adalah apakah postur tubuh
berpengaruh pada perhatian dan konsentrasi anak?
Pengaruh bentuk tubuh terhadap respon anak
![]() | |
Sumber: hipwee.com |
Sewaktu
Sekolah dulu saya masih ingat bagaimana para siswa bersikap berbeda pada tiap- tiap
guru yang berbeda. Dengan guru yang baik dan lembut siswa cenderung dekat. Guru
seperti ini cenderung menjadi tempat curhat murid- murid. Guru dengan bawaan
gaul juga sering jadi sasaran curhat dan bisa diajak bercanda. Ada guru yang killer abis yang membuat siswa tidak
berani untuk bertingkah macam- macam karena takut dimarahi dan berondong dengan
nasehat campur bentakan. Sikap dan reaksi yang sama juga ditunjukkan siswa
terhadap guru yang wibawanya luar biasa. Dengan guru seperti ini siswa juga segan
dan takut untuk macam- macam karena kalau guru tipe ini sudah mulai menasehati
kata- kata lembutnya itu bikin malu ati. Dan dibandingkan dengan guru yang
ditakuti siswa lebih mendengar nasehat guru yang disegani karena wibawanya.
Saya
memperhatikan orang- orang yang postur tubuh nya lebih tinggi besar lebih
disegani oleh siswa. Tambahan lagi bila seorang guru itu sangat menjaga cara
bersikap dan berbicara dengan siswa maka siswa akan lebih segan lagi. Guru yang
kejam hanya akan mengundang kepatuhan di depan saja. Tapi kemudian siswa akan
mengeluarkan segala keluh kesah dan ketidaksenangan mereka terhadap guru jenis
ini. Sehingga guru kejam lebih cenderung untuk dihindari. Sedangkan guru dengan
wibawa alaminya lebih cenderung dihormati dan dijaga perasaannya.
Kenapa saya
jadi membicarakan guru? Karena proses kita mendidik anak membawa kita pada
posisi ini. Jadi bila orang dengan postur lebih tinggi cenderung lebih dilihat
sebagai orang yang memiliki kesan berwibawa maka bisa saya simpulkan itulah
mengapa anak kami tidak begitu sungkan untuk berlaku sesuai keinginan
mereka didepan ibunya. Mereka juga tidak
merasa takut apabila ibunya marah karena karena sikapnya yang luar biasa aktif
tersebut.
Kesimpulannya
adalah wibawa alami seseorang bisa berasal dari suara dan postur tubuh
seseorang dan bagaimana seseorang tersebut mengekspos fitur- fitur tersebut.
CATATAN BAGI DIRI
Bukannya tidak sedih dan menjadi beban mental
saat mendapati diri saya sebagai ibu yang kurang ideal. Hikmah yang bisa
menghibur saya dari semua ini adalah secara teori dari sisi anak- anak
kenakalan yang mereka lakukan adalah usaha mereka menjadi lebih besar dan lebih
tahu nilai- nilai kebenaran dan keburukan. Apa yang boleh dan tidak boleh
mereka lakukan. (lain kali saya akan mencoba menyediakan teori perkembangan
yang sangat terkenal dengan sebutan “little monster” phase of development psychology.
Semoga ada waktu dan masih ada umur panjang, insyaAllah!). Buat saya mungkin
ini rahmat Allah untuk proses perpisahan dengan bayi saya, kalau istilah
kerennya proses sapih. Karena proses menyapih adalah adalah hal yang paling
berat lainnya bagi saya setelah mengandung dan melahirkan. Mungkin kekesalan-
kekesalan kecil (yang mungkin gak pernah dirasakan ibu- ibu atau emak- emak
lain) saat kenakalan mereka mencapai puncaknya ini yang memudahkan saya
menyapih mereka dan membiarkan mereka sedikit demi sedikit menjadi lebih
mandiri.
Bagi para Ayah seharusnya menyadari bahwa
peran mendidik anak bukan semata- mata tugas istri sebagai seorang ibu. Jika dari
pengalaman saya membuktikan bahwa suara ayah dapat begitu berpengaruh pada
perhatian anak akan aturan- aturan yang seharusnya mereka terapkan. Maka saya
dapat membayangkan bagaimana efektifnya jika seorang ayah mau ikut turun tangan
dalam menyampaikan nasehat- nasehat dan nilai- nilai pendidikan bagi anak
meskipun mereka telah seharian lelah bekerja.
Referensi
No comments:
Post a Comment